khilafah

Tegas Tolak Ideologi Khilafah, Jaga Keutuhan NKRI

Cuitan Facebook atas nama Abdul Hamid yang menghina ulama NU dan Khususnya Habib Luthfi bin Yahya. Setelah di telisik lebih jauh, diketahui bahwa pembuat status berada di kediaman di Rembang (Pasuruan). Berangkat dari kasus penghinaan inilah kemudian ratusan Banser meradang. Hingga pada tanggal 20/08/2020 sekitar 150 Banser yang dipimpin oleh Muafi memimpin aksi tabayun ke rumah Abdul Hamid Rembang. Setelah sampai di rumahnya, Abdul Hamid mengakui dengan sebenar-benarnya bahwa semua yang dituduhkan/atau status yang ada di sosial media itu memang dirinya yang menulis. Bahkan ia menambahkan sering melakukan pertemuan dengan angora HTI lainnya di sebuah lembaga pendidikan yang ada di Desa kalisat, Kecamatan Rembang.Mendapati ada sebuah lembaga lain, Banser kemudian bergerak menuju lembaga pendidikan di Desa Kalisat yang sering dipakai sebagai tempat pertemuan HTI. Setelah sampai tujuan, rombongan Banser mendapati sebuah yayasan Al Hamidy Al Islamiyah, yang kemudian bertemu langsung dengan Zainulloh selalu pimpinan yayasan. Hingga pada titik fitalnya menemukan sebuah foto presiden Joko Widodo yang di coret di bagian matanya, diberi kumis. Yang dalam pandangan umum ini bisa disebut sebagai bullying terhadap orang yang menjadi nomer satu di Indonesia sekarang ini. Naasnya setelah bernegosiasi ternyata Zainullaoh selaku pemimpin HTI menolak menyatakan sikap untuk tidak menyebarkan ideologi organisasinya.Hadirnya kasus ini, mengindikasikan bahwa persoalan tentang HTI belum benar-benar usai. Pada kenyataannya meskipun sudah dibubarkan secara formal oleh negara, tetapi HTI masih dengan enteng menyebarkan pahamnya. Sebuah paham yang sebenarnya sudah dibubarkan oleh pemerintah melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Yang pada kenyataannya ideologi ini berseberangan dengan konsep yang diusung Indonesia yang mengadopsi Ideologi Pancasila.Dari kasus ini, mengindikasikan bahwa Indonesia membutuhkan penjagaan yang kuat dalam menjaga kekokohan NKRI. Sederhananya, memang HTI sudah dibubarkan, tetapi sisa-sisa perjuangannya yang kukuh akan pendirian ideologi mungkin masih berkeliaran menyebarkan ideologi yang dianutnya. Terlebih bagi orang-orang desa pasti paham semacam ini akan sangat mudah diserap dan diamini mereka. Sebagaimana contoh dalam kasus ini, salah satu dari pemimpin mereka yang ditanya tentang wakil presiden ia tidak mengetahuinya. Hal ini bisa disinyalir, bahwa mereka sudah terdoktrin paham HTI, sehingga untuk mengenal wakil presiden yang juga merupakan salah satu tokoh ulama sekarang tidak menahu. Bahkan disebutkan juga, bahwa dalam lokasi tersebut tidak terpasang bendera merah-putih, yang sebenarnya sekarang masih memasuki momen kemerdekaan atau Agustusan.Sebenarnya ketika melihat lebih jauh, Hizbut Tahrir sudah banyak dibubarkan di negara-negara lain, tidak hanya di Indonesia. Misalnya di Mesir juga pernah membubarkan Hizbut Tahrir pada tahun 1974 lantaran diduga terlibat upaya kudeta dan penculikan mantan atase Mesir. Di Suriah, organisasi ini dilarang lewat jalur ekstra-yudisial pada 1998. Tidak terkecuali juga Rusia dan Jerman yang juga melarang eksistensi organisasi. Di Rusia Mahkamah Agung Memasukkan Hizbut Tahrir dalam 15 organisasi teroris pada 200. Konsekuensinya, Hizbut Tahrir dilarang melakukan kegiatan apapun di Rusia.Inilah yang kemudian menjadi acuan dalam menjaga keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Bahwa pada faktanya organisasi Hizbut Tahrir memang tidak sesuai konsep yang diusung beberapa bangsa, termasuk Indonesia. Karena apabila dilihat dengan kaca mata ideologi Hizbur Tahrir lebih menekankan pada perjuangan membangkitkan umat Islam atau menjadikan negara Islam. Sedangkan Indonesia memiliki berbagai keragaman suku serta agama di dalamnya. Maka sudah sangat jelas, bahwa HTI sangat layak dibubarkan dari negara Indonesia, dengan tujuan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. https://jalandamai.org/tegas-tolak-ideologi-khilafah-jaga-keutuhan-nkri.html

Tegas Tolak Ideologi Khilafah, Jaga Keutuhan NKRI Read More »

Lawan Paham Khilafah

Paham khilafah tidak relevan di Indonesia, karenanya harus dilawan. Cara terbaik melawan gagasan faham khilafah adalah dengan gagasan pula.Peneliti Senior The Wahid Foundation Alamsyah M Djafar mengatakan gagasan tentang paham khilafah harus dikonter dengan gagasan yang menegaskan paham tersebut tidak relevan di Indonesia. Dan akan tidak bisa diterima masyarakat.Dikatakannya, gagasan semacam khilafah akan terus hadir ketika ada masalah dengan pengelolaan negara.”Jadi itu akan bermunculan dan saya kira hal yang lumrah saja dalam sejarah. Yang lain juga kita tahu ada juga yang seperti Sunda Empire, lalu kasus kelompok-kelompok agama baru seperti Lia Eden, kemudian gerakan-gerakan seperti Gafatar. Itu akan terus bermunculan. Yang harus terus di dorong kepada masyarakat adalah memastikan bahwa gagasan itu tidak laku di masyarakat,” katanya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/8).Menurutnya, gagasan tidak dapat dilarang. Namun demikian, negara dapat melakukan pembatasan atau bahkan menghukum seseorang atau kelompok jika bertentangan dengan UUD Pasal 28 yaitu Hak dan Kewajiban Warga Negara.”Di situlah kemudian negara dapat membatasi melalui mekanisme hukum. Contoh misalnya ada kelompok tertentu yang mengembangkan gagasan khilafah dalam konteks ilmiah dia belum bisa dijerat dengan hukum atau sanksi, kecuali ketika mereka mulai membuat ujaran-ujaran kebencian terhadap orang yang tidak ikut mendukung khilafah. Nah itu dapat ditangani oleh hukum,” jelasnya.Ditegaskannya, gagasan harusnya dilawan juga dengan gagasan. Namun, jika gagasan itu berubah menjadi rencana makar dan penggalangan kekuatan, harus segera ditindak tegas.”Sebetulnya kita kan ada perangkat intelijen untuk memantau itu semua agar bisa membuktikan apakah itu betul suatu gerakan yang dapat dinyatakan sebagai gerakan makar atau tidak. Itu artinya harus ada pemantauan terhadap gerakan-gerakan semacam ini,” jelasnya.Selain itu, pemerintah juga harus merangkul tokoh agama atau tokoh masyarakat untuk meyakinkan umatnya bahwa Pancasila sudah final sebagai dasar negara.”Tentu pendekatannya bisa bermacam-macam sesuai media yang digunakan. Misalnya pendekatan agama, bagaimana agama Islam  https://rajbet-app.com/, Kristen memandang prinsip-prinsip dalam Islam. Kemudian juga dengan perbuatan-perbuatan atau kegiatan-kegiatan yang konkret juga dari organisasi masyarakat selama ini. Misalnya pendampingan ekonomi dan lain-lain. Yang memberikan semacam keyakinan kepada umatnya, inilah bentuk dari implementasi pancasila itu,” tuturnya.Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahida (Alissa Wahid) menegaskan memunculkan paham khilafah sama saja membubarkan Indonesia. Sebab paham tersebut tidak sesuai dengan kesepakatan pendirian bangsa yang berlandaskan keberagaman.”Gus Dur selalu mengatakan bahwa alasan adanya Indonesia adalah karena keberagaman, karena kalau tidak ada keberagaman, Indonesia tidak perlu ada. Contohnya, saya sekarang sekarang di Jogja, kalau kita tahun 1945 tidak mencapai kesepakatan bernama Indonesia, saya ini berarti ada di negara yang berbeda dengan Jakarta. Karena tidak ada Indonesia,” ujar putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid tersebut.Dia mengungkapkan yang dipakai untuk mempersatukan adalah gagasan yang diberi nama Indonesia dan disepakati pada tahun 1928.”Jadi kalau sekarang ada yang mau menyeragamkan dengan khilafah itu sama saja dengan membatalkan dan membubarkan indonesia. Masalahnya memang kita ini yang mayoritas kalah dalam hal militansi dengan mereka sehingga disebut sebagai silent majority. Makanya terlihat mereka yang lebih banyak apalagi di media sosial,” ujarnya.Dijelaskannya, paham khilafah yang didengung-dengungkan saat ini sebenarnya tidak jelas.”Di Indonesia sulit sekali untuk merealisasikan ide khilafah itu. Hal ini bisa kita lihat dari sisi teologis Khilafah Islamiyah itu tidak ditemukan bagaimana bentuknya. Khilafah yang sebenarnya didengung-dengungkan oleh HTI adalah khilafah versi nabhani, tapi itu sebenarnya juga bukan khilafah yang dijalankan oleh khulafaur rasyidin setelah nabi. Jadi sebetulnya yang mana yang mau dipakai mereka sendiri juga tidak jelas,” terangnya.Sedangkan Filolog UIN Jakarta Oman Fathurahman mengatakan berdasarkan penelusuran manuskrip tidak ditemukan jejak sejarah kesultanan Nusantara di Indonesia menggunakan sistem kekhalifahan layaknya Turki Utsmani/Ottoman atau yang serupa.“Kalau yang dimaksud jejak kesultanan Nusantara sebagai bagian khilafah itu jelas tidak. Saya kaji manuskrip, tidak mengindikasikan bahwa kesultanan di Nusantara bagian dari khilafah Utsmani,” katanya.Namun, jika yang dimaksud terjadi hubungan diplomatik antara kesultanan Nusantara dengan kekhalifahan Turki Utsmani itu memang terjadi. Terdapat riwayat surat menyurat kenegaraan yang merupakan bukti kontak Nusantara dengan Utsmani.Hal itu, juga sama terjadi ada hubungan ukhuwah Islamiyah antara kerajaan di Indonesia dengan Utsmani, termasuk relasi para ulamanya.“Kalau ada kaitan dengan Utsmani itu tidak diragukan lagi jejak hubungan diplomatiknya,” ungkapnya.Dijelaskannya, kesultanan Nusantara di masa lalu juga menjalin hubungan baik dengan Mesir dan negara-negara Timur Tengah. Begitu juga, terjadi relasi antara kesultanan-kesultanan Nusantara dengan kerajaan Eropa, seperti Banten dengan Inggris untuk kesepakatan suplai bantuan militer.Adanya kontak dengan negara luar, bukan berarti suatu kesultanan di Nusantara mengikuti suatu sistem tertentu dalam hal ini kekhalifahan. Kesultanan di Indonesia menjalankan sistem pemerintahannya sendiri.Terkait kesultanan Aceh yang memiliki keterikatan hubungan erat dengan Turki Utsmani juga bukan merupakan bentuk keterikatan monarki di Nusantara.“Bahkan, Aceh yang saat itu mengajukan diri untuk menjadi negara vassal (bawahan) Turki Utsmani ditolak otoritas di Istanbul di abad 16,” ungkapnya.Turki saat itu merupakan salah satu negara yang kekuatan militernya diperhitungkan di kancah dunia sehingga akan strategis bagi Aceh untuk menjadi bagian dari kekhalifahan.“Pada abad 19, Turki kembali ditagih agar menjadikan Aceh sebagai negara vassal, tapi Turki menolak. Untuk Aceh saja yang punya hubungan diplomatik kuat dengan Turki tidak bisa diklaim menjadi bagian vassal,” kata dia.“Salah satu alasan penolakan, karena Aceh terlampau jauh. Tidak ada keuntungan langsung yang bisa didapatkan pihak Turki saat itu. Itu alasan yang bisa dilihat dari kajian manuskrip,” katanya.Jika Turki membantu Aceh melawan penjajah Belanda, tak lain karena semangat ukhuwah Islamiyah bukan karena upaya melindungi wilayah kekalifahan.

Lawan Paham Khilafah Read More »

Khilafah Tidak Cocok Untuk Indonesia

Indonesia adalah negara pancasila dan sayangnya ada oknum yang ingin merusak ketahanan negara. Caranya dengan membentuk organisasi yang ingin membentuk negara khilafah. Mereka jelas melakukan makar, karena ingin mengganti dasar negara dan tidak pernah mengakui keberadaan presiden di Indonesia.Sejak 1945 sudah disepakati bahwa Indonesia dalah negara demokrasi. Jauh sebelum merdeka, tahun 1928, para pemuda dari berbagai daerah sepakat untuk bersatu dalam sumpah pemuda. Negara ini terdiri dari banyak suku, juga agama. Jika dilihat dari sejarahnya, maka konsep negara tidak bisa diganti menjadi kekhalifahan, karena tak sesuai dengan keadaan masyarakatnya.Organisasi khilafah masuk ke Indonesia tahun 1983. Mereka menyasar ke kampus dan mempengaruhi generasi muda, agar mau diajak membentuk negara kekhalifahan. Organisasi ini sudah dibubarkan namun sayang ada mantan anggota yang masih saja ingin membangkitkannya kembali. Demi ambisi mendirikan negara dengan konsep mereka sendiri.Padahal konsep itu jelas-jelas salah. Bagi mereka, khilafah adalah persatuan banyak negara sehingga hanya ada 1 pemimpin. Padahal di dunia ada lebih dari 200 negara, dengan banyak suku dan agama. Tidak bisa begitu saja dijadikan 1 dan dipaksakan mematuhi aturan mereka. Apalagi mereka memaksakan kehendak dan memakai cara kekerasan agar mendirikan kekhalifahan.Alissa Wahid dari jaringan Gusdurian menyatakan bahwa paham khilafah sama saja membubarkan Indonesia. Karena mereka ingin mendirikan negara baru. Hal ini menyebalkan karena mereka memaksakan ada keseragaman di suatu negara. Padahal kita adalah negara dengan multi budaya, suku, dan terutama agama. Tak bisa disatukan jadi kekhalifahan.Alissa mengutip perkataan Gus Dur bahwa Indonesia ada karena keberagaman. Jika tahun 1945 tak ada kesepakatan dari para pejuang dari berbagai daerah untuk bersatu, maka negara Indonesia kan sulit terbentuk. Organisasi khalifah memang layak dibubarkan, karena mereka anti keberagaman. Prinsip kekhalifahan juga tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.Indonesia mengakui 6 agama dan memiliki rakyat dari berbagai latar belakang, suku, dan lain-lain. Organisasi khalifah tidak pernah bertoleransi terhadap pluralisme dan suka memaksakan pendapatnya sendiri. Jadi jangan sampai banyak yang terpengaruh bujuk rayu mereka dan melupakan bahwa negara ini punya keberagaman. Karena mereka hanya punya 1 sistem.Gerakan gerilya dari organisasi khalifah mulai menyasar ke banyak pihak. Mulai dari kampus, pegawai swasta, hingga ke sekolah. Banyak yang tak sadar terhadap bahaya mereka. bisa jadi ada orang yang tak mengetahui modusnya. Atau kurang memiliki rasa nasionalisme dan patriotisme. Jadi mau saja kalau diajak ikut pengkaderan, tanpa berpikir efek buruknya apa.Organisasi khilafah juga memanfaatkan minimnya pengetahuan orang awam, terutama yang ada di kampung pelosok. Mereka mudah terbujuk lalu mau saja diajak ikut acara. Untuk berkeliling menyebarkan ajarannya, bahkan sampai ke luar negeri. Sayangnya mereka malah meninggalkan kewajiban mencari nafkah. Dapur keluarga jadi terjungkir karena kesalahan ini.Kita harus hati-hati terhadap modus mereka dan jaga juga keluarga besar dari organisasi terlarang itu. Mereka pandai merayu lalu menceritakan kehebatan kekhalifahan dan menjanjikan kavling di surga, jika ada yang mau diajak jadi kader. Padahal tak ada manusia yang bisa menjamin orang lain masuk surga. Orang tua dan saudara lain harus diberi tahu hal ini.Khilafah mengadakan gerakan bawah tanah untuk menebarkan ajarannya dan mencari kader baru. Sistem khalifah dilarang karena tidak sesuai dengan pancasila dan prinsip yang dimiliki oleh para plokamator sebelum membentuk Indonesia. Kita adalah bangsa yang majemuk dan menghormati satu sama lain. Tidak bisa dilebur jadi satu dengan sistem khalifah. https://www.suaradewata.com/read/202008310011/khilafah-tidak-cocok-untuk-indonesia.html

Khilafah Tidak Cocok Untuk Indonesia Read More »

Jangan Lengah, Tetap Tegas Menolak Khilafah!

Indonesia adalah negara kesepakatan, di mana masyarakatnya yang berbeda-beda sejak awal negara ini berdiri telah sepakat bersatu dalam bingkai negara Pancasila. Ia (Pancasila) memberi kita pedoman bagaimana hidup rukun dan damai dalam perbedaan dengan mengedepankan semangat saling menghargai, toleransi, gotong royong, dan persatuan. Keragaman suku, agama, ras, dan sebagainya, semua dilindungi dalam naungan Pancasila. Pancasila menjadi pelindung sekaligus jembatan penghubung antar elemen dan kelompok masyarakat, sehingga diterima dan terus dijaga oleh seluruh bangsa Indonesia.Maka, kemunculan gerakan khilafah otomatis tertolak di Indonesia. Sebab, kelompok ini bermimpi mendirikan negara agama dengan sistem syariat Islam. Bagi bangsa Indonesia yang beragam, terutama keragaman agama, tentu khilafah bisa menimbulkan keretakan dan perpecahan. Sebab secara mendasar, ide negara khilafah bertentangan dengan prinsip negara Pancasila yang sudah disepakati para pendiri bangsa ini sejak awal. Bangsa Indonesia yang beragam butuh wadah pemersatu, bukan penyeragaman. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan Pancasila, bukan khilafah. Selain tidak sesuai dengan kebutuhan atau realitas masyarakat Indonesia, ide khilafah sendiri pada dasarnya tidak jelas dan tidak tercantum dalam sumber utama ajaran Islam (Al Qur’an dan Hadis).Baca juga : Khilafah dan Problem Imortalitas Ideologi Prof. Mahfud MD dalam tulisannya berjudul “Menolak Ide Khilafah” (Kompas, 26/05/2017) menegaskan, khilafah tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Sistem pemerintahan umat Islam terserah pada umatnya sesuai keadaan masyarakat dan perkembangan zaman. Buktinya, kita bisa melihat di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada pula yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya. Menurut Prof. Mahfud MD, beragamnya sistem pemerintahan di dunia Islam itu menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Di dalam istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy). Maka negara Pancasila hasil kesepakatan para pendiri bangsa, termasuk di dalamnya para ulama Nusantara, telah menjadi pilihan final yang terbaik bagi bangsa Ini. Bagi umat Islam di Indonesia, Pancasila tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan syariah Islam, sehingga harus diterima sebagai mietsaaqon ghaliedzaa atau kesepakatan luhur bangsa. Gerakan negara khilafah tak memiliki sumber kuat. Sudah begitu, ia juga bertentangan dengan konsep negara Pancasila, tak cocok dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Wajar khilafah tertolak di Indonesia. Lagipula, kita tahu khilafah sebelumnya juga sudah ditolak di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim. Bahkan, Hizbut Tahrir, organisasi pengusung khilafah, sudah ditolak di dua puluh negara lebih. Sebab ideologi khilafah bertentangan dengan realitas politik kontemporer, menolak demokrasi, menentang nasionalisme dan konsep negara-bangsa. Pemerintah Indonesia memang sudah membubarkan HTI sebagai ormas pengusung khilafah. Namun, kita tetap harus terus waspada sebab masih ada berbagai aktivitas yang terindikasi menyebarkan paham khilafah dari kelompok-kelompok atau organisasi turunannya. Mereka masih bergerak menyebarkan propaganda di tengah masyarakat melalui berbagai macam cara, termasuk dengan berkamuflase, juga menunggangi berbagai isu atau persoalan yang sedang berkembang dan menjadi perhatian masyarakat.Upaya menolak dan menangkal paham khilafah semakin menantang ketika di tengah masyarakat sendiri telah ada sebagian masyarakat yang mendukung atau setuju Indonesia menjadi negara khilafah. Salah satu buktinya, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada 2017 menunjukkan ada 9,2 persen responden yang setuju NKRI diganti menjadi negara khilafah (Kompas.com, 04/06/2017).Jika kita cermati, 9,2 persen dari sekitar 260 juta penduduk Indonesia itu tidak sedikit. Jumlahnya bisa sampai 20 juta penduduk. Bisa dibayangkan betapa bahayanya jika 20 juta orang tersebut terus aktif menyebarkan propaganda khilafah di tengah masyarakat. Jika kita tidak aktif menangkal, bukan tidak mungkin angka tersebut akan semakin bertambah. Melihat berbagai ancaman tersebut, jelas kita tak boleh lengah. Selain menolak dan membubarkan ormas pengusungnya, sangat penting membangun benteng yang kokoh agar masyarakat tak terpengaruh propaganda khilafah tersebut. Benteng penangkal khilafah bisa dibangun, terutama dengan terus menguatkan nilai-nilai Pancasila, nasionalisme, dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.Setiap individu musti berperan membangun benteng tersebut lewat peran masing-masing sesuai bidang. Pemimpin, pejabat, aparat penegak hukum, akademisi, guru, tokoh agama, aktivis, orangtua, hingga seluruh masyarakat, semua mesti sadar dan bergerak memperkuat Pancasila dengan mengimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan nyata. Sehingga dari sana tercipta kehidupan masyarakat yang aman, damai, harmonis, saling menghargai, dan selalu bersatu padu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). https://jalandamai.org/jangan-lengah-tetap-tegas-menolak-khilafah.html

Jangan Lengah, Tetap Tegas Menolak Khilafah! Read More »

Putri Gus Dur Tegaskan Khilafah tidak Sesuai dengan Indonesia

KOORDINATOR Jaringan Gusdurian Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahida atau akrab disapa Alissa Wahid menegaskan bahwa paham khilafah yang menyeragamkan sama saja berartı membatalkan dan membubarkan Indonesia karena hal ini tidak sesuai dengan kesepakatan pendirian bangsa ini yang berlandaskan keberagaman.”Gus Dur selalu mengatakan bahwa alasan adanya Indonesia adalah karena keberagaman, karena kalau tidak ada keberagaman, Indonesia tidak perlu ada. Contohnya, saya sekarang sekarang di Jogja, kalau kita tahun 1945 tidak mencapai kesepakatan bernama Indonesia, saya ini berarti ada di negara yang berbeda dengan Jakarta. Karena tidak ada Indonesia,” ujar putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid itu di Yogyakarta, Rabu (26/8).Anggota Suluh Kebangsaan itu juga mengungkapkan bahwa seandainya pada 1945 bangsa ini tidak bersepakat menjadi satu negara satu bangsa, maka pasti terpecah-pecah. Karena itu, menurutnya, yang dipakai untuk mempersatukan ialah gagasan yang diberi nama Indonesia yang disepakati pada 1928.”Jadi kalau sekarang ada yang mau menyeragamkan dengan khilafah itu sama saja dengan membatalkan dan membubarkan indonesia. Masalahnya memang kita ini yang mayoritas kalah dalam hal militansi dengan mereka sehingga disebut sebagai silent majority. Makanya terlihat mereka yang lebih banyak apalagi di media sosial,” tutur putri sulung Gus Dur itu.Alissa menyebutkan bahwa hal tersebut bisa terjadi karena sebagian besar orang Indonesia merasa nyaman, aman dan berpuas diri tapi tidak menjaga atau tidak memperbaharui komitmen kepada kebangsaaannya yaitu Indonesia dan akhirnya malah sibuk dengan kepentingannya sendiri.”Di sisi lain, ada kelompok yang sangat militan melakukan kaderisasi, melatih anggota-anggotanya untuk menjadi penggerak masyarakat dan sekarang penggerak-penggerak itu sudah ada dimana-mana termasuk di BUMN dan kementerian/lembaga (K/L) yang bisa kita lihat data-datanya dari berbagai survei yang ada,” ucap lulusan magister psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.Alissa menyampaikan bahwa anggota-anggota kelompok tersebut telah menyusup ke berbagai lini hingga ke ASN dan TNI-Polri yang mana sebenarnya lembaga ini adalah sebagai penyangga filosofi besar bangsa dan negara Indonesia.”Padahal di Indonesia sendiri sebenarnya sulit sekali untuk merealisasikan ide khilafah itu. Hal ini bisa kita lihat dari sisi teologis khilafah Islamiyah itu tidak ditemukan bagaimana bentuknya. Khilafah yang sebenarnya didengung-dengungkan oleh HTI adalah khilafah versi nabhani, tapi itu sebenarnya juga bukan khilafah yang dijalankan oleh khulafaur rasyidin setelah nabi. Jadi sebetulnya yang mana yang mau dipakai mereka sendiri juga tidak jelas,” terangnya.Menurutnya, perlu strategi yang lebih efektif dan efisien serta orang-orang yang militan untuk menjaga NKRI. Perlu kader-kader yang memiliki keterampilan atau kecakapan untuk menggerakkan masyarakat yang tidak hanya bisa bilang NKRI harga mati tapi juga bisa mewujudkannya dengan menggerakkan masyarakat.”Kita masih berkutat di hal-hal yang sifatnya seremonial saja seperti seminar atau even yang tidak bisa mencetak kader-kader yang diperlukan untuk menjaga bangsa. Di tempat saya sendiri Gusdurian baru mencapai 130 kota di Indonesia, belum semuanya. Karena kita tidak ada kekuatan dana,” ucapnya.Kehadiran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai lembaga yang terdepan dalam penanggulangan terorisme menurutnya sangat diharapkan peran sertanya untuk turut serta mencetak kader-kader penggerak masyarakat.”BNPT perlu untuk membuat program kaderisasi yang kuat jadi kita nanti bisa mencetak orang-orang yang memang bisa menggerakkan masyarakat. Kami di gusdurian saja perlu waktu dua tahun melakukan kaderisasi kepada seseorang sampai dia mampu pada tingkat menjadi pemimpin atau bisa menggerakkan masyarakat. Nah, BNPT saya yakin juga bisa melakukan hal serupa, hanya desain programnya bisa lebih efektif dan efisien sesuai kebutuhan,” pungkasnya. https://mediaindonesia.com/read/detail/339747-putri-gus-dur-tegaskan-khilafah-tidak-sesuai-dengan-indonesia

Putri Gus Dur Tegaskan Khilafah tidak Sesuai dengan Indonesia Read More »

HTI Dibubarkan, Sistem Khilafah Ditolak

Sebuah lembaga pendidikan di Kecamatan Rembang, Pasuruan, Jawa Timur didatangi massa yang melakukan klarifikasi atas dugaan sebagai tempat kaderisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan mengajarkan khilafah. Menteri Agama Fachrul Razi menegaskan, HTI sudah dibubarkan sejak 2017. Karenanya, HTI tidak punya izin beraktivitas di Indonesia, apalagi dengan mengampanyekan sistem politik khilafah yang tertolak di Indonesia. Fachrul menegaskan, sebuah negara tidak harus berbentuk khilafah untuk disebut Islami. Dia mengatakan, nilai-nilai Islam tetap berkembang luas dan kuat dalam sistem republik, kerajaan atau keamiran, termasuk yang sejak dulu berjalan di Republik Indonesia. Pada pekan peringatan HUT Kemerdekaan ke-75 RI dan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442H, Fachrul mengajak masyarakat untuk meneguhkan semangat nasionalisme dan cinta tanah air. Diketahui, pencabutan status badan hukum HTI berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. https://www.liputan6.com/news/read/4336550/menag-hti-sudah-dibubarkan-sistem-khilafah-tertolak

HTI Dibubarkan, Sistem Khilafah Ditolak Read More »

Menilik Kesalahan Paham Khilafah Islamiyah Dari Kacamata Islam

Meski senyap, nyatanya masih ada perang di negeri ini. Perang tak kasat mata ini terjadi karena adanya kalangan yang menolak ideologi Pancasila, serta menginginkan berdirinya khilafah Islamiyah di Indonesia. Bukan hal baru sebenarnya, ide menjadikan hukum Islam sebagai landasan bernegara ini sudah ada sejak awal kemerdekaan. Salah satu organisasi paling terkenal yang menyebarkan paham ini ialah Hizbut Tahrir Indonesia atau biasa disebut HTI. Meski telah secara resmi dibubarkan oleh pemerintah pada 19 Juli 2017, nyatanya paham yang disebarkan oleh organisasi ini masih memiliki banyak pengikut.Belum lama ini, beredar sebuah pesan di WA yang berisikan ajakan untuk menolak RUU HIP. Pasalnya, disahkannya RUU yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara tersebut dinilai dapat memperkecil atau bahkan menghilangkan peluang berdirinya khilafah Islamiyah di Indonesia. Adanya pesan ini menunjukkan masih eksisnya umat Islam yang menginginkan kebangkitan peradaban Islam di Indonesia.Lalu, jika banyak yang setuju, apakah menjadikan Indonesia sebagai negara Islam adalah pilihan terbaik?Bukan IslamKata islām berasal dari bahasa Arab aslama—yuslimu yang secara semantik berarti tunduk dan patuh (khadha’a wa istaslama), berserah diri, menyerahkan, memasrahkan (sallama), mengikuti (atba’a), menunaikan, menyampaikan (addā). Selain itu, dari istilah-istilah lain yang memiliki akar kata yang sama, makna islām berkaitan erat dengan kemurnian, keselamatan, dan kedamaian.Dari pengertian di atas, ada dua hal yang penting untuk digarisbawahi, yaitu keselamatan dan kedamaian. Pasalnya, kedua hal ini memiliki wilayah aplikasi yang lebih luas dibandingkan poin-poin sebelumnya. Untuk berserah diri, misalnya bertaubat. Benar bertaubat tidaknya seseorang tidak dapat dinilai oleh orang lain atau pun diri sendiri. Oleh karena itu, poin ini hanya memiliki aplikasi secara pribadi, lebih kepada hubungan antara Tuhan dan hamba—Nya.Baca Juga : Menemukan Tuhan dalam “Seporsi” PersaudaraanDi sisi lain, keselamatan dan kedamaian adalah dua hal yang dapat dinilai baik oleh diri sendiri maupun orang lain di sekitar kita. Seorang muslim memegang keselamatan dan kedamaian sebagai hak dan kewajiban. Seorang muslim memiliki hak untuk merasa selamat dan damai dan berkewajiban untuk membuat orang-orang di sekitarnya merasakan hal yang sama. Lalu, apakah gerakan mewujudkan berdirinya khilafah Islamiyah mampu membawa umat Islam ke tahap ini?Pada kenyataannya, adanya gerakan yang ingin menerapkan hukum Islam sebagai hukum negara justru melanggar poin-poin tentang keselamatan dan kedamaian dalam pengertian Islam sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya.Pertama, mendirikan khilafah Islamiyah berarti menghapus semua hukum yang ada saat ini, lalu menggantinya dengan hukum Islam. Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang tidak menganut agama Islam? Dalam hal ini, keterbatasan akan banyak dialami oleh pemeluk agama-agama lain. Keterbatasan ini sudah cukup untuk menjadi penyebab gagalnya masyarakat Islam memberikan rasa aman dan damai untuk orang-orang di sekitarnya.Kedua, bukan tidak mungkin jika jalan menuju peradaban Islam itu akan dipenuhi dengan peperangan. Ada dua pihak dalam peperangan ini, yaitu mereka yang mendukung khilafah Islamiyah dan yang menolaknya. Penolak paham ini juga bukan hanya mereka yang menganut agama lain. Sebagai catatan, tidak sedikit pula umat Islam yang menyayangkan adanya paham ini.Ketiga, terlalu banyaknya aliran Islam di Indonesia juga bisa menjadi peluang terjadinya peperangan gelombang kedua, seandainya khilafah Islamiyah benar-benar berdiri. Sebagai informasi, dari banyaknya organisasi yang menyuarakan gerakan ini, tidak sedikit jumlahnya yang memiliki visi berseberangan.Dari ketiga poin di atas, cukup jelas bahwa mendukung dan mengikuti gerakan mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia tidak bisa disebut sebagai bagian dari peran seorang muslim dalam beragama. Sebaliknya, tetap menjaga keselamatan dan kedamaian semua orang dengan mencintai Pancasila bisa menjadi salah satu bentuk pahala kepada Tuhan dan juga sesama.Menjunjung Tinggi ToleransiPerlu diingat juga bahwasanya Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi. Piagam Madinah adalah bukti nyata bahwa Islam adalah agama yang menghargai agama lain dan penganutnya. Selain itu, jika kita bercermin pada konstitusi ini, akan sangat memalukan bagi umat Islam untuk sekadar membisikan paham khilafah Islamiyah di negeri yang penuh dengan perbedaan ini.Isi Piagam Madinah disepakati oleh masyarakat Madinah yang terbagi menjadi tiga kelompok yang berbeda agamanya. Dalam Piagam Madinah tersebut, terkandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban masing-masing golongan, baik yang secara pribadi maupun kelompok. Perlu ditegaskan bahwa, dalam konstitusi ini, Nabi Muhammad SAW. juga mencantumkan hak untuk bebas beragama bagi seluruh masyarakat Madinah pada saat itu.Melihat peran Piagam Madinah yang mampu menyatukan keberagaman di Madinah, sudah sepatutnya umat Islam memahami bahwa Pancasila tidak lain adalah versi lain dari konstitusi tersebut. Yang ingin penulis tegaskan ialah, sebagaimana Piagam Madinah di masanya, keberadaan Pancasila merupakan bentuk toleransi antar umat beragama di Indonesia. Menolak keberadaan Pancasila sebagai ideologi negara sama dengan menghilangkan nilai toleransi dalam Islam.Islam atau Pancasila?Pada akhirnya, Islam maupun Pancasila bukanlah dua hal yang harus ditempatkan secara diametral. Islam adalah agama, sedangkan Pancasila adalah ideologi yang menaungi Islam dan agama-agama yang lain beserta para pemeluknya untuk bisa berjalan bersama dalam keselarasan. Layaknya penduduk Madinah, mereka mematuhi isi dari Piagam Madinah, namun juga tetap menjalankan kewajibannya sebagai umat beragama. Oleh karena itu, akan jadi aman dan damai negeri ini jika masyarakat Islam bisa mencontoh pendahulu mereka. Menjadi warga negara yang mencintai Indonesia dan Pancasila, sekaligus menjadi muslim yang paham ilmu agama. https://jalandamai.org/menilik-kesalahan-paham-khilafah-islamiyah-dari-kacamata-islam.html

Menilik Kesalahan Paham Khilafah Islamiyah Dari Kacamata Islam Read More »

Waspada Pengaruh HTI! Awas Gerakan Diam-diam di Tengah Masyarakat

Hizbut Tahrir Indonesia menjadi organisasi terlarang di Indonesia sejak Menkum dan HAM menerbitkan SK Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 yang mencabut status badan hukum HTI. Putusan ini juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung yang menolak permohonan kasasi yang diajukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terkait pencabutan status badan hukum organisasi oleh pemerintah. Putusan MA ini sekaligus menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 211/G/2017/PTUN-JKT, tanggal 7 Mei 2018. Meskipun sudah dilarang di Indonesia, orang-orang eks HTI tetap melakukan propaganda dengan segala cara. Bahkan kelompok tersebut secara terang-terangan tetap mengusung paham khilafah sebagai ideologi yang mereka usunh untuk menggangi Pancasila. Selain lewat media sosial, HTI juga melakukan penggalangan dan propaganda melalui organisasi yang menyusul ke berbagai lapisan masyarakat. Salah satu organisasinya adalah Lajnah Thalabun Nushrah. LTN diketahui menyusup ke TNI/Polri untuk merekrut perwira tinggi dan menengah kemudian dibina dalam halaqah-halaqah HTI dan ditugaskan melakukan kudeta. Lajnah ini amat-sangat rahasia. Di tingkat pusat hanya ada lima orang anggota, dipimpin oleh seorang Ketua Lebih dan disupervisi langsung oleh Amir Hizbut Tahrir internasional. Organisasi berikutnya adalah Lajnah Fa’aliyah. Lajnah ini bertugas menyusup ke lembaga-lembaga negara, partai politik, dan ormas Islam untuk merekrut ketua lembaga seperti ketua MPR, DPR, DPD, menteri-menteri, MA, MK, Kejaksaan Agung, ketua partai, dan ormas-ormas kemasyarakatan. Mereka kemudian dibina dalam halaqah-halaqah HTI dan ditugaskan mengkondisikan lembaga negara, partai dan ormas-ormas untuk mendukung kudeta yang dieksekusi oleh dewan jenderal yang telah dibina oleh Lajnah Thalabun Nushrah. Ketua Lajnah Fa’aliyah HTI sekarang adalah M. Rahmat Kurnia (dosen IPB). Lajnaj siyasiyah adalah organisasi HTI yang bertugas membangun opini masyarakat. Masyarakat diprovokasi untuk menyerang pemerintah agar masyarakat mendukung Khilafah melalui tulisan yang disebarkan dengan nama fiktif. Tulisan penulis fiktif tersebut seperti: Nasrudin Hoja, buletin Kaffah, tabloid Media Umat, dan channel Youtube Khilafah Channel. Lajnah ini juga mengatur dan mensupervisi gerakan * LBH Pelita Umat yang dibentuk HTI. Lajnah Khos Ulama bertugas menyusup ke pesantren-pesantren dan majlis ta’lim untuk merekrut para kiai dan ustadz yang akadibina dalam halaqah-halaqah HTI untuk memberi dukungan bagi tegaknya Khilafah versi HTI. Lajnah ini diiisi oleh anggota senior HTI yang punya latar belakang santri, antara lain,Mustofa Ali Murtadha, Yasin Muthahhar, Ahmad Junaidi (Gus Juned), Nurhilal Ahmad, dan Abdul Karim. Mereka mempublikasi kegiatan di www.shautululama.id. Selain itu terdapat Lajnah Thullab wal Jami’ah.Lajnah ini bertugas merekrut pelajar dan mahasiswa melalui Rohis dan LDK yang berafiliasi ke HTI. Organisasi ini juga menyusup melalui komunitas milineal yang dibuat oleh aktivis HTI seperti: #yukngaji yang diinisiasi oleh Felix Siauw, dan KARIM.Untuk LDK-LDK yang berafiliasi dengan HTI dikumpulkan dalam BKLDK dan Gema Pembebasan. Lajnah Dosen, Peneliti dan Akademisi, bertugas merekrut para akademisi (dosen, peneliti, tenaga administrasi kampus) untuk dibina dalam halaqah-halaqah HTI. Lajnah ini dikomandani oleh: Prof. Fahmi Amhar dibantu Dr. Kusman Sadik (dosen IPB), Dr. Fahmi Lukman (dosen UNPAD). Ismail Yusanto saat ini juga tetap eksis dengan atribur terbuka sebagai Jubir HTI. Eksistensi Ismail Yusanto ini menunjukkan bahwa HTI tidak menggubris keputusan pemerintah tentang pencabutan badan hukum HTI. Hal ini tentu tidak bisa dibiatkan berlarut-larut. Pemerintah harus tegas dengan situasi ini. Penyusupan HTI ke segala lapisan masyarakat harus dicegah dan ditangani. Jika dibiarkan maka eksistensi pengusung ideologi khilafah akan semakin membesar dan semakin mendesak Pancasila.

Waspada Pengaruh HTI! Awas Gerakan Diam-diam di Tengah Masyarakat Read More »

Mewaspadai Provokasi Khilafah dan Radikalisme di Media Sosial

Selama pandemi covid-19 kita dipaksa untuk mengurangi intensitas pertemuan secara fisik, sehingga kita semua diminta untuk melek teknologi. Alhasil munculah webinar dimana-mana. Namun demikian, masyarakat perlu sadar bahwa kelompok radikal terus menyebarkan gagasan pendirian khilafah dan paham anti Pancasila lainnya. Penggunaan internet memang menawarkan kecepatan akses terhadap informasi apapun, jika dulu kita harus ke perpustakaan untuk mencari informasi tentang bagaimana cara budidaya tanaman hias, sekarang kita hanya memerlukan sebuah gawai yang terkoneksi internet untuk dapat mengakses informasi apapun.             Kebebasan ini lah yang patut diwaspadai, karena tidak semua konten di internet dapat berdampak baik. Kecepatan akses internet ini rupanya dimanfaatkan juga oleh kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan pancasila. Mereka tak segan-segan menyebarkan berita bohong dengan bumbu kebencian terhadap pemerintah.             Kita-pun perlu mengantisipasinya dengan upaya penguatan literasi agar tidak mudah terprovokasi ataupun terlarut terhadap penggiringan opini.             Tentu kita tidak asing dengan pemberitaan yang menyudutkan pemerintah yang seakan tidak berpihak kepada umat beragama ketika pemerintah melakukan pembatasan aktifitas ibadah selama PSBB diberlakukan.             Namun ketika pemerintah mengangkat wacana new normal, justru ada saja yang memunculkan provokasi bahwa pemerintah tidak melindungi warga dan segala macamnya.             Provokasi inilah yang masuk kedalam keresahan masyarakat untuk kemudian menggiring opini bahwa pemerintah telah berbuat dzalim, dan untuk menyelesaikan masalah tersebut solusinya adalah paham khilafah.             Padahal konsep khilafah sudah jelas bertentangan dengan indentitas bangsa Indonesia yang heterogen. Kita tentu sepakat, walaupun Indonesia merupakan negara dengan mayoritas masyarakat yang menganut agama Islam, bukan berarti Indonesia harus menjadi negara Islam seperti timur tengah.             Sementara itu wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan bahwa khilafah memang identik dengan Islam. Namun ia menagaskan bahwa Islami itu tidak berarti harus menerapkan sistem khilafah.             Jika ada yang bertanya kenapa khilafah ditolak di Indonesia, Ma’ruf menjawabnya bahwa khilafah bukan ditolak namun memang tertolak. Hal ini karena ideologi khilafah memang tidak bisa masuk karena ideologi tersebut telah menyalahi kesepakatan nasional. Bagi umat Islam, kesepakatan itu haruslah dihormati. Sama saja dengan membawa khilafah di Arab Saudi, pasti akan tertolak juga karena di negara tersebut yang disepakati adalah sistem kerajaan.             Konten radikalisme di internet sudah tak terhitung jumlahnya. Radikalisme agama yang diagung-agungkan justru dapat menimbulkan perpecahan diantara sesama umat beragama dengan keyakinan yang sama atau dengan kelompok agama lain.             Paham radikal dalam menjalankan dan menyebarkan pemahamannya cenderung menggunakan cara yang tidak sesuai dengan apa yang sudah dijadikan pedoman kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.             Radikalisme terus mencoba mencekoki generasi bangsa dengan apa yang mereka pahami sebagai pedoman hidup maupun solusi atas permasalahan bangsa.             Yang tak kalah menjadi momok adalah ketika kelompok Islamc State of Iraq dan Syria (ISIS) menjadi momok baru yang menakutkan bagi kalangan generasi muda dengan berbagai provokasi serta ajakan kekerasan.             ISIS merupakan salah satu kelompok radikal yang memanfaatkan media sosial dalam menyebarkan ideologinya hingga melakukan perekrutan untuk ikut terlibat dalam gerakan politik penuh kekerasan di Suriah.             Propaganda ISIS inipun berhasil merekrut beberapa anak bangsa untuk terbang ke Suriah, sesampainya disana sebagaian diantara mereka memilih untuk menyobek dan membakar passportnya. Kalau sudah seperti ini mungkin mereka sudah tidak cocok tinggal di tanah air.             Lagian, pemerintah juga tidak menyuruh mereka untuk pergi dari Indonesia, mereka sendirilah yang memilih untuk meninggalkan Indonesia, karena tergiur dengan kehidupan ala khilafah.             Kalaupun mereka tetap dipulangkan ke Indonesia, bukan tidak mungkin mereka akan menyebarkan bibit paham radikalisme yang sempat mereka anut selama bergabung dengan ISIS. Tentunya jika mereka pulang ke Indonesia, siapa yang bisa menjamin akan rasa nasionalisme mereka terhadap Pancasila?             Kita harus hati-hati bahwa niat jihad mereka ke Suriah adalah penerapan feodalisme agama yang tidak relevan untuk masa kini.             Jangan sampai NKRI tercoreng hanya karena nafsu segolongan orang yang menginginkan perpecahan dan mengganti ideologi negara. Kita memiliki peran untuk terus menjaga pancasila untuk tetap menjadi ideologi negara, selayaknya para suporter Timnas Indonesia yang kerap menyanyikan lagu Garuda Di Dadaku.

Mewaspadai Provokasi Khilafah dan Radikalisme di Media Sosial Read More »

Propaganda Khilafah Ala HTI Bisa Jadi Bom Waktu Bagi Indonesia

Aktivis Crisis Center NII, Ken Setiawan menyebut keberadaan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) adalah gerakan politik yang menggunakan agama sebagai kedok pergerakan mereka. Bahkan menurut Ken, gerakan HTI di Indonesia sejatinya adalah gerakan makar. “Belajar ilmu, tapi di lapangan tak pakai akhlak, menghalalkan segala cara ingin mengganti negara ini dengan khilafah Islam, menurut saya adalah makar. Pancasila sendiri juga ikut dirumuskan oleh ulama, mengapa harus diganti?,” kata Ken dalam webinar dengan tema ‘Mewaspadai Kebangkitan Ideologi Khilafah di Tengah Pandemi’ yang diinisiasi oleh Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), Senin (29/6/2020). Sebab kata Ken, HTI menyuarakan demokrasi adalah haram, sehingga solusi satu-satunya adalah khilafah. Bahkan, mereka membentuk kelompok kecil yang membid’ahkan segala yang sudah menjadi tradisi di Indonesia. “Tapi lucunya mereka cuma bisa tinggal di negara demokrasi. Akhirnya mereka membentuk kelompok kecil yang membid’ahkan segala yang tradisional. Mereka masif dan terorganisir. Seolah-olah menguasai masyarakat,” sambungnya. Dikatakan Ken, paham mereka adalah anti demokrasi dan keberadaan HTI dituding sangat berbahaya bagi rakyat Indonesia. “Warna bagi mereka hanya hitam putih, memilih Pancasila atau Islam. Kenali modusnya, bila ini rahasia jangan disampaikan tapi ikuti, ini jebakan mereka. Penipuan versi cantik. Sugestinya adalah kalau kamu melawan Al Quran kamu berarti kafir,” jelasnya. Ken melanjutkan khilafah adalah bom waktu yang prematur dan gerakan mereka massif bisa berpotensi menggulingkan pemerintahan yang sah. “Kita harus kritis terhadap fakta di lapangan, pemerintah harus ada tindakan pencegahan. Khilafah ini bom waktu yang prematur, gerakan mereka masif, ingin menggulingkan pemerintah. Jika melihat, laporkan aparat, agar ditindak, agar tidak menyebar,” ucapnya. Ditempat yang sama, Ketua Umum PB PMII Agus Mulyono Herlambang mengatakan mahasiswa yang setuju dengan penerapan khilafah Islam cukup tinggi, terutama di masa pandemi covid-19. “Yang dimanfaatkan sekelompok orang untuk mengubah ideologi Pancasila menjadi ideologi khilafah. Ini banyak digoreng seakan pemerintah tidak pro umat islam, apalagi di masa Covid-19, pemerintah melakukan pelarangan ibadah yang dimaksudkan mencegah Covid-19, tapi malah digoreng yaitu ada narasi pemerintah “rezim” memberantas umat islam lewat narasi ini. Ini perlu diluruskan,” pungkasnya.

Propaganda Khilafah Ala HTI Bisa Jadi Bom Waktu Bagi Indonesia Read More »