Protokol Kesiapsiagaan Atasi Pandemi Radikalisme
Kita telah merasakan langsung dampak dahsyat sebuah pandemi bernama Covid-19. Kesehatan luluh lantak, ekonomi ambruk, pendidikan berlangsung semrawut. Sebagaimana Covid-19, kiranya ada satu lagi “virus” yang amat mematikan: radikalisme. Bahkan, radikalisme dalam sejumlah hal, lebih ganas ketimbang Covid-19. Ya, radikalisme beragama, misalnya, telah berumur tua; sejak agama itu baru berdiri. Karena itu, virus radikalisme berkelindan dalam sejarah panjang keberagamaan berabad-abad hingga hari ini. Bukti sahih nan anyar itu bisa dijumpa pada Minggu, 9 Agustus 2020 di Solo. Sejumlah orang berbuat anarki di acara Midodareni. Dugaan kuat, aksi tersebut dipicu lantaran tradisi tersebut dianggapnya bertentangan dengan ajaran agama. Sebaran radikalisme amat cepat; secepat virus penyakit. Menyebar ke seluruh penjuru dunia, tanpa terkecuali sisakan ruang. Hingga hari ini, terkata belum ada “vaksin” untuk mengatasi pandemi radikalisme. Atawa, vaksinnya sudah ada, tetapi perlu untuk terus diperbaharui. Atau jangan-jangan, radikalisme tidak akan pernah lenyap selama manusia eksis. Karena itu, perlu rujukan untuk terus melawan radikalisme saban waktu selama hayat masih di kandung badan. Rujukan untuk mengamalkan hidup sehat; beragama yang menyehatkan dan membuat orang lain ikut sehat. “Jaga jarak” sebagai metafor untuk bersikap moderat, bisa kita sebut sebagai protokol mengatasi virus radikalisme. Cara beragama dengan mengedepankan moderatisme merupakan antitesis dari nalar radikal yang bertipikal berlebih-lebihan. Radikalisme amat tekstualis dalam memahami ajaran agama. Padahal, agama sendiri membuka banyak ruang dan pintu untuk dimasuki. Sehingga membawa konsekuensi ragam mazhab, aneka tafsir. Mengabaikan konteks dengan menyunggi teks tidak bisa dijadikan pijakan dalam beragama secara ideal. Begitu pula dalam berbangsa dan bernegara. Fasisme merupakan bentuk lain yang serupa atas radikalisme bernegara; virus yang bermutasi. Nabi Muhammad Saw mencintai kampung halamannya, Mekkah; semacam nasionalisme. Namun, sisi lain, beliau bertitah bahwa orang Arab tidak lebih unggul dari non-Arab kecuali ditakar berdasar amalnya. Saat Fathul Makkah, orang-orang Mekkah adalah saudara Nabi Saw; saudara setanah kelahiran meski berbeda-beda kabilah/suku dan keyakinan. Tak ada ceceran darah pada peristiwa tersebut seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Kita bisa melihat dua sisi penting peristiwa itu. Pertama, nasionalisme ala Nabi Saw bersifat luwes. Pada saat ini, kita sememangnya musti menyunggi nasionalisme. Kecintaan terhadap Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Namun, nasionalisme tidak boleh berhenti pada diktum “nasionalime sempit”. Artinya, kita tak boleh menganggap orang asing memiliki derajat kemanusiaan lebih rendah berdasar warna kulit, misalnya.
Protokol Kesiapsiagaan Atasi Pandemi Radikalisme Read More »