cegah

Protokol Kesiapsiagaan Atasi Pandemi Radikalisme

Kita telah merasakan langsung dampak dahsyat sebuah pandemi bernama Covid-19. Kesehatan luluh lantak, ekonomi ambruk, pendidikan berlangsung semrawut. Sebagaimana Covid-19, kiranya ada satu lagi “virus” yang amat mematikan: radikalisme. Bahkan, radikalisme dalam sejumlah hal, lebih ganas ketimbang Covid-19. Ya, radikalisme beragama, misalnya, telah berumur tua; sejak agama itu baru berdiri. Karena itu, virus radikalisme berkelindan dalam sejarah panjang keberagamaan berabad-abad hingga hari ini. Bukti sahih nan anyar itu bisa dijumpa pada Minggu, 9 Agustus 2020 di Solo. Sejumlah orang berbuat anarki di acara Midodareni. Dugaan kuat, aksi tersebut dipicu lantaran tradisi tersebut dianggapnya bertentangan dengan ajaran agama. Sebaran radikalisme amat cepat; secepat virus penyakit. Menyebar ke seluruh penjuru dunia, tanpa terkecuali sisakan ruang. Hingga hari ini, terkata belum ada “vaksin” untuk mengatasi pandemi radikalisme. Atawa, vaksinnya sudah ada, tetapi perlu untuk terus diperbaharui. Atau jangan-jangan, radikalisme tidak akan pernah lenyap selama manusia eksis. Karena itu, perlu rujukan untuk terus melawan radikalisme saban waktu selama hayat masih di kandung badan. Rujukan untuk mengamalkan hidup sehat; beragama yang menyehatkan dan membuat orang lain ikut sehat. “Jaga jarak” sebagai metafor untuk bersikap moderat, bisa kita sebut sebagai protokol mengatasi virus radikalisme. Cara beragama dengan mengedepankan moderatisme merupakan antitesis dari nalar radikal yang bertipikal berlebih-lebihan. Radikalisme amat tekstualis dalam memahami ajaran agama. Padahal, agama sendiri membuka banyak ruang dan pintu untuk dimasuki. Sehingga membawa konsekuensi ragam mazhab, aneka tafsir. Mengabaikan konteks dengan menyunggi teks tidak bisa dijadikan pijakan dalam beragama secara ideal. Begitu pula dalam berbangsa dan bernegara. Fasisme merupakan bentuk lain yang serupa atas radikalisme bernegara; virus yang bermutasi. Nabi Muhammad Saw mencintai kampung halamannya, Mekkah; semacam nasionalisme. Namun, sisi lain, beliau bertitah bahwa orang Arab tidak lebih unggul dari non-Arab kecuali ditakar berdasar amalnya. Saat Fathul Makkah, orang-orang Mekkah adalah saudara Nabi Saw; saudara setanah kelahiran meski berbeda-beda kabilah/suku dan keyakinan. Tak ada ceceran darah pada peristiwa tersebut seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Kita bisa melihat dua sisi penting peristiwa itu. Pertama, nasionalisme ala Nabi Saw bersifat luwes. Pada saat ini, kita sememangnya musti menyunggi nasionalisme. Kecintaan terhadap Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Namun, nasionalisme tidak boleh berhenti pada diktum “nasionalime sempit”. Artinya, kita tak boleh menganggap orang asing memiliki derajat kemanusiaan lebih rendah berdasar warna kulit, misalnya.

Protokol Kesiapsiagaan Atasi Pandemi Radikalisme Read More »

Waspada Pengaruh HTI! Awas Gerakan Diam-diam di Tengah Masyarakat

Hizbut Tahrir Indonesia menjadi organisasi terlarang di Indonesia sejak Menkum dan HAM menerbitkan SK Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 yang mencabut status badan hukum HTI. Putusan ini juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung yang menolak permohonan kasasi yang diajukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terkait pencabutan status badan hukum organisasi oleh pemerintah. Putusan MA ini sekaligus menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 211/G/2017/PTUN-JKT, tanggal 7 Mei 2018. Meskipun sudah dilarang di Indonesia, orang-orang eks HTI tetap melakukan propaganda dengan segala cara. Bahkan kelompok tersebut secara terang-terangan tetap mengusung paham khilafah sebagai ideologi yang mereka usunh untuk menggangi Pancasila. Selain lewat media sosial, HTI juga melakukan penggalangan dan propaganda melalui organisasi yang menyusul ke berbagai lapisan masyarakat. Salah satu organisasinya adalah Lajnah Thalabun Nushrah. LTN diketahui menyusup ke TNI/Polri untuk merekrut perwira tinggi dan menengah kemudian dibina dalam halaqah-halaqah HTI dan ditugaskan melakukan kudeta. Lajnah ini amat-sangat rahasia. Di tingkat pusat hanya ada lima orang anggota, dipimpin oleh seorang Ketua Lebih dan disupervisi langsung oleh Amir Hizbut Tahrir internasional. Organisasi berikutnya adalah Lajnah Fa’aliyah. Lajnah ini bertugas menyusup ke lembaga-lembaga negara, partai politik, dan ormas Islam untuk merekrut ketua lembaga seperti ketua MPR, DPR, DPD, menteri-menteri, MA, MK, Kejaksaan Agung, ketua partai, dan ormas-ormas kemasyarakatan. Mereka kemudian dibina dalam halaqah-halaqah HTI dan ditugaskan mengkondisikan lembaga negara, partai dan ormas-ormas untuk mendukung kudeta yang dieksekusi oleh dewan jenderal yang telah dibina oleh Lajnah Thalabun Nushrah. Ketua Lajnah Fa’aliyah HTI sekarang adalah M. Rahmat Kurnia (dosen IPB). Lajnaj siyasiyah adalah organisasi HTI yang bertugas membangun opini masyarakat. Masyarakat diprovokasi untuk menyerang pemerintah agar masyarakat mendukung Khilafah melalui tulisan yang disebarkan dengan nama fiktif. Tulisan penulis fiktif tersebut seperti: Nasrudin Hoja, buletin Kaffah, tabloid Media Umat, dan channel Youtube Khilafah Channel. Lajnah ini juga mengatur dan mensupervisi gerakan * LBH Pelita Umat yang dibentuk HTI. Lajnah Khos Ulama bertugas menyusup ke pesantren-pesantren dan majlis ta’lim untuk merekrut para kiai dan ustadz yang akadibina dalam halaqah-halaqah HTI untuk memberi dukungan bagi tegaknya Khilafah versi HTI. Lajnah ini diiisi oleh anggota senior HTI yang punya latar belakang santri, antara lain,Mustofa Ali Murtadha, Yasin Muthahhar, Ahmad Junaidi (Gus Juned), Nurhilal Ahmad, dan Abdul Karim. Mereka mempublikasi kegiatan di www.shautululama.id. Selain itu terdapat Lajnah Thullab wal Jami’ah.Lajnah ini bertugas merekrut pelajar dan mahasiswa melalui Rohis dan LDK yang berafiliasi ke HTI. Organisasi ini juga menyusup melalui komunitas milineal yang dibuat oleh aktivis HTI seperti: #yukngaji yang diinisiasi oleh Felix Siauw, dan KARIM.Untuk LDK-LDK yang berafiliasi dengan HTI dikumpulkan dalam BKLDK dan Gema Pembebasan. Lajnah Dosen, Peneliti dan Akademisi, bertugas merekrut para akademisi (dosen, peneliti, tenaga administrasi kampus) untuk dibina dalam halaqah-halaqah HTI. Lajnah ini dikomandani oleh: Prof. Fahmi Amhar dibantu Dr. Kusman Sadik (dosen IPB), Dr. Fahmi Lukman (dosen UNPAD). Ismail Yusanto saat ini juga tetap eksis dengan atribur terbuka sebagai Jubir HTI. Eksistensi Ismail Yusanto ini menunjukkan bahwa HTI tidak menggubris keputusan pemerintah tentang pencabutan badan hukum HTI. Hal ini tentu tidak bisa dibiatkan berlarut-larut. Pemerintah harus tegas dengan situasi ini. Penyusupan HTI ke segala lapisan masyarakat harus dicegah dan ditangani. Jika dibiarkan maka eksistensi pengusung ideologi khilafah akan semakin membesar dan semakin mendesak Pancasila.

Waspada Pengaruh HTI! Awas Gerakan Diam-diam di Tengah Masyarakat Read More »

RUU BPIP Tangkal Komunisme dan Radikalisme

Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), sudah berganti menjadi RUU Badan Pembina Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Dalam draft RUU BPIP tersebut telah jelas tertulis larangan ideologi komunisme / marxisme. Pemerintah sebelumnya telah meminta kepada DPR secara resmi untuk menunda pembahasan RUU HIP karena tidak sepakat dengan beberapa poin yang menuai kontroversi. Yaknni, soal ketiadaan larangan komunisme, serta keberadaan azas ekasila dan trisila. RUU BPIP ini tergolong sederhana; terdiri dari delapan BAB, 17 pasal dan 16 halaman. Merujuk pada salah satu poin yang tercantum pada bagian pertimbangan-pertimbangan untuk membuat RUU BPIP ini, terdapat poin penting terkait larangan aktifitas komunisme dan aliran serupa. Dalam poin dua bagiab ‘mengingat; RUU BPIP ini secara eksplisit mencantumkan Tap MPRS tahun 1966 yang menyatakan pembubaran PKI. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia. Tak hanya pertimbangan dalam membubarkan PKI. RUU ini juga melarang kegiatan yang menyebarkan paham-paham berunsur komunis seperti Marxisme dan Leninisme. Sebelumnya, sempat muncul kegelisahan terkait kebangkitan PKI, rumor tersebut muncul berkembang di akar rumput. Tak sedikit pula yang mengaitkan rumor tersebut dengan rekam jejak PDIP yang memiliki kader ‘anak PKI’, hingga kedekatan Soekarno dengan PKI di era Nasakom. Hal tersebut diperparah dengan keberadaan ekasila dan trisila yang dituding akan menghilangkan sila kesatu dalam pancasila, yakni Ketuhanan yang maha esa. Selain menangkal paham komunisme, Paham BPIP juga diharapkan dapat menangkal ideologi yang tidak sejalan dengan pancasila seperti paham radikalisme. Kita tentu sepakat bahwa Pancasila merupaka ideologi dan dasar negara. Namun, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi perubahan pandangan dan pola hidup masyarakat Indonesia yang tak bisa dihindari. Sebagai ideologi bangsa, Pancasila dihadapkan pada tantangan besar. Menerima perubahan atau tergilas zaman. Di sisi lain, ideologi ini juga dituntut menjadi mercusuar yang nilai-nilainya mampu mengikat dan mempersatukan seluruh elemen bangsa Indonesia. Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN), Jenderal TNI (purn) AM Hendropriyono mengatakan, masyarakat sejatinya harus meyakini bahwa Indonesia memiliki filosofi bernegara, yaitu Pancasila. Untuk mencapai kesadaran dan keyakinan tersebut, masyarakat baik individu maupun kelompok tentu perlu berpiki secara rasional dan melakukan refleksi untuk menerapkan nilai Pancasila dalam kehidupan. Keberadaan RUU BPIP dibutuhkan, tidak hanya untuk menguatkan peran BPIP, tetapi juga agar program-program pembinaan Pancasila bisa lebih gencar dijalankan. Dengan demikian, BPIP dapat lebih transparan, ruang geraknya lebih leluasa dan berfungsi maksimal. Selanjutnya, RUU tersebut juga bisa menjadi landasan pelaksanaan program-program pembinaan Pancasila yang lebih maksimal dan merata. Apalagi BPIP memiliki tugas dalam menangkal ancaman paham radikal yang merongrong bangsa. Radikalisme dan fundamentalisme pasar merupakan ancaman akut bagi Indonesia yang muncul pada era globalisasi ini. Paham radikal di Indoesia ibarat lubang yang ada di dalam kapal, jika tidak segera ditangani maka kapal besar bernama Indonesia dapat tenggelam sewaktu-waktu. Hal ini sudah terbukti, seperi aksi radikal di Surabaya yang melibatkan anak-anak, disusul dengan WNI yang tergoda untuk terbang ke Suriah dan membakar passpornya sesampainya disana. Hal tersebut tentu menunjukkan bahwa radikalisme adalah ideologi yang mampu melupakan jati dirinya sebagai anak bangsa. Apalagi kaum radikalis tersebut terkadang melegalkan aksi kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Catatan sejarah di Indonesia-pun telah menunjukkan beragam konflik yang diakibatkan dari pemikiran radikal yang sarat akan sikap intoleransi. Padahal dalam Pancasila sendiri sudah jelas tertuang dalam sila ke-tiga Persatuan Indonesia. Sila ini tentu merujuk pada rasa persatuan dalam keberagaman yang dimiliki oleh NKRI. RUU BPIP tentu diharapkan dapat menjadi penguat Pancasila ketika NKRI dihantam oleh ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara, Pancasila. RUU BPIP diharapkan menjadi penegak bangsa ketika Pancasila dibenturkan oleh paham komunisme ataupun radikalisme. Pancasila harus menjadi nafas yang diyakini sebagai satu-satunya ideologi NKR, sampai kapanpun.

RUU BPIP Tangkal Komunisme dan Radikalisme Read More »

Tangkal Radikalisme Dengan Nasionalisme

Paham radikal adalah paham merupakan virus berbahaya, sehingga hal ini memerlukan penanganan serius agar tidak menyebar ke masyarakat. Salah satunya adalah dengan memupuk rasa nasionalisme. Mulai dari pendidikan bela negara, Pancasila hingga budaya yang ada di NKRI.Di zaman serba medsos ini, tentu saja siapapun dapat dengan mudah terpengaruh atau mempengaruhi orang lain. Khususnya dengan hal-hal baru seperti tafsir ayat yang dikemas untuk memojokkan kelompok tertentu.Pengamat Politik Timur tengah dari Universitas Indonesia Smith Alhadad mengatakan, tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia semakin menurun. Hal inilah yang mengakibatkan orang berbondong-bondong pergi ke negara Timur Tengah yang dianggap negara kaya.Menurutnya, kesalahan pandangan inilah yang mendorong masyarakat untuk bergabung dengan organisasi radikal ISIS dengan harapan agar mendapatkan pendapatan secara ekonomi yang lebih baik.Bahkan mereka juga terbang ke Suriah juga membawa serta anak dan istrinya. Mestinya jika tujuannya jihad, tentu saja mereka tidak akan mengajak serta anak dan istrinya. Cuci otak yang dilakukan oleh ISIS-pun terbilang sangat ekstreme, karena sebagian WNI yang sudah terbang ke Suriah justru memilih untuk membakar passpor-nya. Kalau sudah begini tentu saja mereka enggan untuk kembali ke Tanah Air yang memiliki beragam kebudayaan dan menjunjung demokrasi.Meski paham radikal tidak sepakat terhadap demokrasi, kelompok radikal justru menggunakan narasi politik. Anak-anak muda yang sedang krisis identitas atau merasa galau karena melihat adanya ketidakadilan, akan mudah sekali didorong melakukan jihad.Faktor selanjutnya adalah mudahnya akses internet yang semakin cepat. Khususnya anak muda yang mudah galau cenderung mengandalkan internet untuk mendapatkan informasi yang tidak terbendung.Sedangkan ISIS, kala itu mengoptimalkan internet untuk menyebarkan ideologi dan melakukan perekrutan melalui penyebaran video jihad dan pemahaman mereka yang tidak sejalan dengan Pancasila.Parahnya, mereka akan menggunakan narasi psikologis yang mengglorifikasi tokoh-tokoh kekerasan sebagai pahlawan atau mujahid. Singkatnya, mereka akan dengan lembut menyebarkan narasi yang menganggap bahwa kekerasan itu bisa menjadi solusi dalam memecahkan masalah. Pada 2018 lalu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menghapus 1.285 konten-konten terkait dengan radikalisme dan terorisme di media sosialm, Ribuan konten tersebut, tersebar dalam berbagai platform. Kominfo bahkan mengintensifkan patroli konten di media sosial sejak aksi teroris yang melibatkan anak-anak dibawah umur di Surabaya.Pada kesempatan berbeda, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar menuturkan, agar karyawan perusahaan dibekali pengetahuan tentang gejala dan indikasi radikalisme untuk mencegah dan memutus mata rantai paham tersebut.Hal ini dikarenakan paham radikalisme dan terorisme bisa menyasar siapapun termasuk kelompok karyawan perusahaan.Meski demikian, Boy juga menegaskan bahwa tidak ada tendensi untuk menaruh curiga apalagi menuduh adanya radikalisme di lingkungan perusahaan swasta. Namun, pencegahan ini harus berangkat dari kesadaran bahwa tidak ada satu-pun masyarakat yang imun dari pengaruh paham radikal.Boy Rafli Amar juga menuturkan, kaum radikalis masih tetap menyebarkan ideologinya dengan menggunakan isu covid-19 sebagai bukti dekatnya hari kiamat agar umat bergabung dengan mereka. Selain itu mereka juga semakin aktif bergerak di dunia media sosial sebab banyak masyarakat yang online di rumah sebagai dampak dari PSBB yang pernah diterapkan oleh pemerintah.Pada kesempatan yang lain, Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila Bambang Soesatyo memandang perlu pendekatan khusus untuk mencegah generasi muda terpapar paham radikal.Pendidikan kebangsaan juga harus kembali digalakkan, mengingat ideologi radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sehingga sumpah mahasiswa yang hendak membangun negara khilafah yang meniadakan umat beragama lainnya, jelas hal tersebut bertentangan dengan ideologi pancasila yang menjunjung tinggi keberagaman dan kebhinekaan sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sudah jelas maksudnya, yakni memberi landasan bagi setiap manusia Indonesia untuk memaknai kepercayaan terhadap keberadaan sang pencipta dengan caranya masing-masing.Kita wajib bersyukur tinggal di Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman. Jangan sampai semangat toleransi terhadap perbedaan, dirusak oleh paham radikal yang menjunjung sikap intoleran namun menolerir aksi kekerasan.

Tangkal Radikalisme Dengan Nasionalisme Read More »

Mewaspadai Provokasi Khilafah dan Radikalisme di Media Sosial

Selama pandemi covid-19 kita dipaksa untuk mengurangi intensitas pertemuan secara fisik, sehingga kita semua diminta untuk melek teknologi. Alhasil munculah webinar dimana-mana. Namun demikian, masyarakat perlu sadar bahwa kelompok radikal terus menyebarkan gagasan pendirian khilafah dan paham anti Pancasila lainnya. Penggunaan internet memang menawarkan kecepatan akses terhadap informasi apapun, jika dulu kita harus ke perpustakaan untuk mencari informasi tentang bagaimana cara budidaya tanaman hias, sekarang kita hanya memerlukan sebuah gawai yang terkoneksi internet untuk dapat mengakses informasi apapun.             Kebebasan ini lah yang patut diwaspadai, karena tidak semua konten di internet dapat berdampak baik. Kecepatan akses internet ini rupanya dimanfaatkan juga oleh kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi yang bertentangan dengan pancasila. Mereka tak segan-segan menyebarkan berita bohong dengan bumbu kebencian terhadap pemerintah.             Kita-pun perlu mengantisipasinya dengan upaya penguatan literasi agar tidak mudah terprovokasi ataupun terlarut terhadap penggiringan opini.             Tentu kita tidak asing dengan pemberitaan yang menyudutkan pemerintah yang seakan tidak berpihak kepada umat beragama ketika pemerintah melakukan pembatasan aktifitas ibadah selama PSBB diberlakukan.             Namun ketika pemerintah mengangkat wacana new normal, justru ada saja yang memunculkan provokasi bahwa pemerintah tidak melindungi warga dan segala macamnya.             Provokasi inilah yang masuk kedalam keresahan masyarakat untuk kemudian menggiring opini bahwa pemerintah telah berbuat dzalim, dan untuk menyelesaikan masalah tersebut solusinya adalah paham khilafah.             Padahal konsep khilafah sudah jelas bertentangan dengan indentitas bangsa Indonesia yang heterogen. Kita tentu sepakat, walaupun Indonesia merupakan negara dengan mayoritas masyarakat yang menganut agama Islam, bukan berarti Indonesia harus menjadi negara Islam seperti timur tengah.             Sementara itu wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan bahwa khilafah memang identik dengan Islam. Namun ia menagaskan bahwa Islami itu tidak berarti harus menerapkan sistem khilafah.             Jika ada yang bertanya kenapa khilafah ditolak di Indonesia, Ma’ruf menjawabnya bahwa khilafah bukan ditolak namun memang tertolak. Hal ini karena ideologi khilafah memang tidak bisa masuk karena ideologi tersebut telah menyalahi kesepakatan nasional. Bagi umat Islam, kesepakatan itu haruslah dihormati. Sama saja dengan membawa khilafah di Arab Saudi, pasti akan tertolak juga karena di negara tersebut yang disepakati adalah sistem kerajaan.             Konten radikalisme di internet sudah tak terhitung jumlahnya. Radikalisme agama yang diagung-agungkan justru dapat menimbulkan perpecahan diantara sesama umat beragama dengan keyakinan yang sama atau dengan kelompok agama lain.             Paham radikal dalam menjalankan dan menyebarkan pemahamannya cenderung menggunakan cara yang tidak sesuai dengan apa yang sudah dijadikan pedoman kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.             Radikalisme terus mencoba mencekoki generasi bangsa dengan apa yang mereka pahami sebagai pedoman hidup maupun solusi atas permasalahan bangsa.             Yang tak kalah menjadi momok adalah ketika kelompok Islamc State of Iraq dan Syria (ISIS) menjadi momok baru yang menakutkan bagi kalangan generasi muda dengan berbagai provokasi serta ajakan kekerasan.             ISIS merupakan salah satu kelompok radikal yang memanfaatkan media sosial dalam menyebarkan ideologinya hingga melakukan perekrutan untuk ikut terlibat dalam gerakan politik penuh kekerasan di Suriah.             Propaganda ISIS inipun berhasil merekrut beberapa anak bangsa untuk terbang ke Suriah, sesampainya disana sebagaian diantara mereka memilih untuk menyobek dan membakar passportnya. Kalau sudah seperti ini mungkin mereka sudah tidak cocok tinggal di tanah air.             Lagian, pemerintah juga tidak menyuruh mereka untuk pergi dari Indonesia, mereka sendirilah yang memilih untuk meninggalkan Indonesia, karena tergiur dengan kehidupan ala khilafah.             Kalaupun mereka tetap dipulangkan ke Indonesia, bukan tidak mungkin mereka akan menyebarkan bibit paham radikalisme yang sempat mereka anut selama bergabung dengan ISIS. Tentunya jika mereka pulang ke Indonesia, siapa yang bisa menjamin akan rasa nasionalisme mereka terhadap Pancasila?             Kita harus hati-hati bahwa niat jihad mereka ke Suriah adalah penerapan feodalisme agama yang tidak relevan untuk masa kini.             Jangan sampai NKRI tercoreng hanya karena nafsu segolongan orang yang menginginkan perpecahan dan mengganti ideologi negara. Kita memiliki peran untuk terus menjaga pancasila untuk tetap menjadi ideologi negara, selayaknya para suporter Timnas Indonesia yang kerap menyanyikan lagu Garuda Di Dadaku.

Mewaspadai Provokasi Khilafah dan Radikalisme di Media Sosial Read More »

Presiden Jokowi Perintahkan Fokus Tangani Stunting di 10 Provinsi

Presiden Joko Widodo meminta program penurunan angka stunting difokuskan di sepuluh provinsi yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Daerah Istimewa Aceh. Kepala negara meminta kegiatan tersebut melibatkan organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), tokoh-tokoh masyarakat serta relawan yang biasa bersentuhan langsung dengan masyarakat. Yang terakhir, lanjut presiden, upaya penurunan angka stunting harus disinergikan dengan program perlindungan sosial seperti Program Keluarga Harapan dan Bantuan Pangan Non-Tunai.

Presiden Jokowi Perintahkan Fokus Tangani Stunting di 10 Provinsi Read More »

Perkuat Adaptasi Kebiasaan Baru Cegah Covid-19

ISTILAH new normal diganti menjadi adaptasi kebiasaan baru agar masyarakat lebih sadar untuk menjaga higienitas. Karena pandemi masih belum berakhir, bahkan Covid-19 bisa menyebar melalui airborne. Jadi kita masih harus pakai masker dan mematuhi protokol kesehatan, seperti pada masa awal pandemi. Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19 menyatakan bahwa pemerintah mengganti istilah new normal jadi ‘adaptasi kebiasaan baru. Perubahan ini dilakukan karena orang-orang salah paham dan hanya membaca kata ‘normal’, sehingga dipikir bahwa keadaan sudah normal, padahal masa pandemi masih berlaku. Yuri menambahkan bahwa masyarakat seharusnya tetap disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan, seperti saat awal serangan Covid-19 di Indonesia. Pemerintah tidak henti-hentinya mengkampanyekan untuk rajin cuci tangan atau pake hand sanitizer, pakai masker, dan jaga jarak. Juga menyarankan agar masyarakat menjaga kesehatan dan imunitas lingkungan. Adaptasi kebiasaan baru berarti berusaha hidup dengan produktif walau ada virus covid-19 di Indonesia. Kita hidup berdampingan dengan Covid-19 dan bekerja kembali di luar rumah, dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Karena virus ini tidak akan menular ketika manusia sehat. Jadi new normal bukanlah back to normal dan tidak menjalankan aturan kesehatan. Kebingungan istilah new normal membuat masyarakat melepaskan masker dan mulai bepergian lagi seperti biasa, bahkan berwisata ke luar kota. Padahal hal ini berbahaya karena virus covid-19 saat ini bermutasi sehingga bisa menular lewat udara, bukan lewat droplet seperti dulu. Jadi satu-satunya perlindungan adalah memakai masker kain. Kita juga masih wajib menjaga jarak (physical distancing). Di era adaptasi kebiasaan baru ini, kendaraan umum tidak boleh terisi penuh, dan ada kursi yang diberi tanda silang agar tidak diduduki. Di tempat umum seperti Bank dan Rumah Sakit juga seperti itu. Tanda silang itu sebagai pembatas dan jangan malah duduk berdempetan di satu kursi. Di masa adaptasi kebiasaan baru ini, sekolah bisa mulai dibuka. Namun dengan beberapa syarat, yakni lokasinya berada di zona hijau. Yang boleh dibuka juga setingkat SMU dan SMP, karena untuk anak SD dan TK masih rawan tertular Covid-19. Murid tidak datang setiap hari, hanya 2 sampai 3 kali seminggu dan sisanya dengan pembelajaran online di rumah. Di masa adaptasi kebiasaan baru, pasar juga dibuka lagi. Namun dengan syarat pedagang dan pembeli harus pakai masker, dan disediakan hand sanitizer. Begitu juga dengan orang-orang di sekeliling pasar, seperti tukang parkir, penjual kaki lima, juga harus pakai masker kain. Karena penyebaran Covid-19 juga bisa terjadi melalui uang kertas, selain via droplet. Di pasar juga sering diadakan rapid test untuk mengetahui apakah ada yang positif Covid-19. Karena sekarang banyak OTG alias orang tanpa gejala yang tidak demam dan batuk, ternyata ketika dites, hasilnya terinfeksi covid-19. Ketika ada pedagang yang kena Covid-19 maka ia segera dirawat, pasar ditutup sementara, dan disemprot cairan disinfektan. Pusat perbelanjaan juga dibuka lagi namun sebelum masuk, harus cuci tangan dan diperiksa suhu badannya. Di dalam supermarket juga dibatasi jumlah pengunjungnya agar tetap mematuhi aturan jaga jarak. Pembeli yang akan masuk namun tidak memakai masker, langsung disuruh pulang. Pembayaran juga memakai non tunai alias pakai uang digital. Adaptasi kebiasaan baru menggantikan istilah new normal agar masyarakat tidak bingung dengan kata ‘normal’. Pemerintah selalu mengkampanyekan untuk hidup bersih dan mematuhi protokol kesehatan, dan jangan lupa pakai masker. Karena sekarang Covid-19 makin ganas dan bisa menular lewat udara, jadi masyarakat harus tetap waspada.

Perkuat Adaptasi Kebiasaan Baru Cegah Covid-19 Read More »

Jokwi Apresiasi Papua Terapkan Kearifan Lokal Cegah Corona

Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19, Doni Monardo, mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengapresiasi warga Papua yang menerapkan kearifan lokal untuk mencegah penyebaran Covid-19. “Ada suatu strategi positif yang kita lihat, di Papua melakukan pencegakan, disiplin berdasarkan kearifan lokal,” kata Doni dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/7). Doni usai rapat terbatas (ratas) kanbinet yang dipimpin Jokowi, lebih lanjut menyampaikan, saat ini kasus Covid-19 di bumi cendrawasih itu mengalami penurunan. “Kita lihat kasus di Papua mengalami penurunan dan juga angka sembuhnya mengalami peningkatan,” ujarnya. Sebelumnya, kata Doni, Papua masuk dalam 8 provinsi yang menjadi perhatian Presiden Jokowi karena angka kasus positif Covid-19-nya. Adapun 8 provinsi yang menjadi perhatian Jokowi, yakni Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, dan Papua. “Kita lihat Papua sudah mengalami kemajuan, Bapak Menko dan Menkes beberapa hari yang lalu berkunjung ke Papua, ada suatu strategi positif yang kita lihat,” ujarnya.

Jokwi Apresiasi Papua Terapkan Kearifan Lokal Cegah Corona Read More »