Jelang pilkada, penyebaran berita hoax naik drastis, terutama di media sosial. Provokator sengaja membuat hoax untuk menggiring opini masyarakat, agar mereka memilih calon kepala daerah tertentu. Banyak orang yang jadi resah dengan penyebaran hoax, karena terlalu cepat tersebar. Sehingga membuat ketentraman sosial jadi bubar.
Semenas, Parrish, dan Sellnow menyatakan bahwa hoax adalah berita yang berisi klaim palsu. Peristiwa itu ada tapi faktanya salah. Namun sayangnya berita hoax seperti ini malah lekas muncul di media sosial, juga di beberapa grup WA. Masyarakat terlalu percaya dengan konten hoax lalu menyalinnya sembarangan, tanpa mengecek kebenarannya, sungguh miris.
Menjelang pilkada akhir tahun ini, kita perlu mewaspadai munculnya hoax yang bertebaran baik di website maupun media sosial. Mengapa sampai muncul berita hoax? Karena pembuatnya sengaja ingin membuat persatuan rakyat jadi terpecah-belah. Serta ingin mengarahkan mereka untuk mencoblos calon kepala daerah yang didukung oleh pembuat hoax.
Selain faktor tersebut, hoax tumbuh subur karena selama ini belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengaturnya. Bisa jadi kelak ada UU yang melarang peredaran hoax dan dimasukkan ke dalam UU ITE. Hoax juga muncul karena dibiarkan saja oleh bakal calon pemimpin dalam pilkada, serta respon dari penyelenggara pemilihan cenderung lambat.
Contoh dari berita hoax adalah ketika salah satu calon pemimpin daerah tertangkap kamera sedang berduaan dengan lawan jenis. Padahal ketika ditelusuri lebih lanjut, ia adalah keponakannya. Namun masyarakat sudah menduga bahwa ia adalah lelaki hidung belang. Juga masih ada banyak konten hoax lain yang cenderung menyerang salah satu calon dalam pilkada.
Efek hoax ini sangat mengerikan. Komisioner KPU Virman Aziz menyatakan bahwa berita hoax bisa mengecap di pikiran masyarakat sampai waktu yang lama. Buktinya ketika ia berdiskusi dengan banyak orang, masih banyak yang termakan berita hoax mengenai pemilu 2019 lalu. Padahal peristiwa ini sudah terjadi setahun yang lalu. Ini bukti bahwa hoax itu berbahaya
Untuk mengatasi berita hoax, maka Kementrian Komunikasi dan Informatika membentuk satuan tugas yang dinamakan ‘Drone 9’. Tugas dari aparat siber ini adalah menemukan konten hoax. Sudah ada lebih dari 700 hoax berupa berita dan foto. Lantas diumumkan kepada masyarakat luas bahwa itu hanya hoax, melalui media cetak, elektronik, dan internet.
Selain membentuk satuan tugas, maka pemerintah juga berusaha memberi sanksi kepada situs dan media sosial yang memuat berita hoax. Jadi, sebelum ditindak pemerintah, mereka harus memberi peringatan kepada penggunanya, juga syarat dan ketentuan ketika mengunggah suatu konten. Karena selama ini foto dan berita hoax baru bisa dilaporkan oleh pengguna lain.
Masyarakat juga dihimbau agar tidak termakan berita dan foto hoax yang menyesatkan. Jika ada konten yang tersebar di media sosial dan grup WA, periksa dahulu kebenarannya. Jangan asal di-copas dan Anda malah ikut jadi penyebar hoax dan malah mengacaukan dunia maya. Setelah memeriksanya, ingatkan juga kepada orang lain agar tak menyebarkannya.
Ciri berita hoax adalah tidak tertera siapa sebenarnya penulis aslinya, dan ada embel-embel ‘sebarkan’ atau ‘wajib baca’. Selain itu, periksa dari mana konten itu berasal. Biasanya dari website abal-abal, bahkan hanya blog yang tidak berlangganan domain alias gratisan. Jika ada foto yang diduga hoax, periksa dengan aplikasi khusus di HP untuk memeriksa kebenarannya.
Waspada konten hoax berupa berita dan foto di dunia maya, yang makin gencar jelang pilkada serentak. Hoax itu memang sengaja disebarkan agar menyerang seorang bakal calon kepala daerah. Jangan percaya jika ada berita yang tersebar, apalagi hanya broadcast di grup WA. Cek dulu kebenarannya.